9 Maret 2009

Kita Harus Ngotot

Sebagian besar orang Jawa pasti pernah dinasehati orang tua masing-masing agar kita “ojo ngoyo” tak usah berlebih-lebihan dalam berusaha. Biasanya dalam konteks mencari rezeki orang tua malah seringkali menambahkan kalimat, “Gusti Allah ora sare,” Tuhan tak pernah tidur jadi ya pasrahkan saja semuanya kepada yang di Atas sana dan yang penting kita sudah berusaha semampu kita. Begitu biasanya nasehat orang tua kita.

Sekarang kita tengok keadaan di sekeliling kita; sampai pekan pertama bulan lalu angka pemutusan hubungan kerja sudah mencapai 33.444 orang. Angka ini adalah sumber resmi Depnaker. Katakan angka itu benar maka jumlah tiga puluh ribu orang lebih itu bukan besaran yang main-main. Gawat darurat sejatinya. Keadaan yang sama juga melanda manca negara, dimana-mana PHK sudah menjadi berita yang “biasa”. Padahal dampak PHK akan sangat luar biasa.

Pada saat PHK dimana-mana persaingan untuk memperoleh pekerjaan akan semakin ketat. Jika kita tengah mencari perkerjaan maka kata kuncinya adalah ngotot, kita tak bisa lagi “ora ngoyo”. Tak bisa lagi berusaha ala kadarnya apalagi sampai pasrah dan mengharapkan ada keajaiban yang menolong kita.

Ngotot seperti apa yang harus kita lakukan? Pertama ya tak henti mencari. Tak ada kata selesai sampai kita mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan harapan. Tentu saat kita sedang kepepet definisi “sesuai harapan” bisa sangat longgar dan bisa jadi kita sampai pada pengertian “daripada nganggur”. Tak apa, tapi tetap perjalanan belum selesai. Kita harus ngotot berusaha agar akhirnya kita mendapatkan apa yang kita inginkan.

Kedua, tingkatkan kualitas diri kita. Jangan pernah kita sampai pernah merasa “been there and done that” walaupun dalam kenyataannya memang kita sudah banyak pengalaman dan praktis sudah pernah melakukan semuanya. Jangan pernah merasa cukup dan “selesai”. Tak ada kata berhenti dalam belajar.

Ketiga, jangan segan dan malu “menjual” diri. Banyak cara untuk membuat orang tahu tentang kita. Internet adalah salah satu caranya, melalui Facebook atau membuat Blog. Dengan jumlah warnet yang begitu banyak, seharusnya akses terhadap internet bukan menjadi kendala. Mungkin yang harus difikirkan bagaimana kita menggunakan warnet seefisien mungkin jadi tak harus mengeluarkan uang banyak untuk akses internet. Caranya misalnya mempersiapkan semuanya secara off line dan begitu on line tinggal dipunggah.

Bagaimana dengan kita yang masih bekerja? Sengaja saya memakai kata “masih” karena di iklim resesi global macam sekarang ini semuanya bisa terjadi. Bisa jadi orang menjadi pengangguran dalam sekejap.

Apa artinya? Sama dengan dengan orang-orang yang sedang berjuang mencari perkerjaan setelah diberhentikan maka orang yang punya pekerjaan pun harus ngotot mempertahankan pekerjaannya.

Jika kita bekerja pasti pihak yang memperkerjakan kita berfikir bahwa kita memberi manfaat buat pemberi kerja-bisa perusahaan maupun perorangan- tapi apakah kita sekedar bermanfaat atau memiliki sesuatu nilai? Kalau pun kita bisa kuantifikasikan nilai itu berapa besarnya? Apakah sedemikian besarnya nilai kita sehingga sang pemberi kerja enggan melepaskan kita? Atau nilainya biasa-biasa saja sehingga kalau pun kehilangan kita dengan cepat akan ada gantinya?

Ngotot untuk terus menambah ilmu dan pengetahuan adalah salah satu kunci. Sama dengan teman-teman kita yang sedang berjuang untuk mencari pekerjaan terus belajar adalah salah satu cara untuk mempertahankan pekerjaan. Pengetahuan kita akan terus bertambah, sehingga pada akhirnya nilai kita juga akan terus membesar.

Dengan ngotot kita tak akan menjadi orang yang mediocre, orang yang biasa-biasa saja. Orang yang mengerjakan sesuatu pas banderol. Pulang juga “teng go”, tak ada keinginan sedikit pun untuk berbuat lebih.

Karena itulah kita harus berusaha menjadi yang terbaik. Jika diperintah bukan sekedar “I do my best” tapi “I do the best”. Mengapa do the best jadi penting? Karena your best maybe not my best begitu boss kita akan berkata. Tapi jika kita do the best maka jelas apa yang akan kita kerjakan adalah yang terbaik berdasarkan standar yang bisa diterima semua orang.

Satu lagi, coba hapus kata “masalah”, “problem” dan sebangsanya. Ganti kata-kata itu dengan “tantangan” atau “ challenge” . Seketika kita akan merasakan perbedaan cara pandang ketika ternyata semuanya “bukan masalah” tetapi tantangan yang hars dipecahkan. Dengan menghapuskan kata “masalah” dari kamus diri kita maka langkah kita untuk berfikir positif menjadi lebih mudah.